Minggu, Maret 06, 2022

Belajar Mendengar



Begitu banyaknya permasalahan yang muncul disebabkan karena ketidak mampuan kita berkomunikasi. Lho maksudnya gimana ini? Komunikasi itu kan tinggal menyampaikan pesan lalu kita dengar pendapatnya seperti apa, dan dilanjutkan dengan diskusi. Ya idealnya seperti itu, hanya kita juga harus paham bahwa banyak hal yang mempengaruhi perjalanan topik/pesan tersebut saat berusaha disampaikan. Salah satunya adalah ego.

Lho kok ego? Iya ego itu berkali-kali menjadi penghalang komunikasi dapat berjalan dengan lancar. Kok bisa begitu? Karena seringkali terjadi dalam sebuah diskusi, komunikasi itu terhenti karena di trigger oleh ego. Sebentar….mungkin akan lebih mudah jika saya berikan contoh cerita kali ya.

Suatu hari, saya bertemu dengan salah seorang teman baru yang juga dikenalkan oleh teman saya yang lain. Pembicaraan dibuka oleh saling berkenalan dan lalu dilanjutkan dengan berbagi ide. Namun baru mulai membuka cerita dan tercetus topik ide tersebut, teman baru ini langsung menumpahkan seluruh ide-ide tentang topik yang serupa (tapi tak sama), sehingga saya akhirnya memutuskan berhenti untuk berbagi. Komunikasi yang terbentuk jadi berbalik satu arah. Saya tidak bisa menyelesaikan penyampaian pesan ke teman baru saya, karena dengan tiba-tiba ia jadi seolah langsung tahu semua permasalahannya (which is not), menyudutkan saya menjadi seorang pendengar yang ia harapkan menyetujui ide yang ia sampaikan.

Saya tidak sekali dua kali bertemu dengan orang seperti ini. Punya ide segudang, punya kemampuan mewujudkannya, namun tidak mampu mendengarkan. Saya menganggap orang-orang seperti ini punya masalah dengan ego sehingga mereka tidak bisa mendengarkan orang lain. Apakah hal tersebut salah? Ya, bisa salah dan bisa juga tidak. Ini masalah kecocokan. It takes two to Tango, except if you want to dance alone. Bisa jadi orang-orang seperti itu merasa tidak punya masalah (awalnya tidak), namun ketika ia mulai berusaha mendikte idenya ke arah yang ia rasa benar dan keukeuh bilang bahwa ini adalah pemecahan yang kita semua butuhkan, saat itu juga komunikasi tidak ketemu. Paham atau tidak paham jadi bukan masalah lagi karena hanya satu pemahaman yang ingin ia dengar, sampai akhirnya orang tersebut belajar mendengar dan memahami inti permasalahan yang tidak ia dapatkan.

Pernah mengalami hal seperti ini?

Label:

Sabtu, Maret 05, 2022

Sakit



Kalau diperhatikan sebetulnya rasa sakit itu adalah mekanisme pertahanan yang paling hebat untuk semua mahluk hidup di manapun. Lho? Gimana bisa?

Rasa sakit itu alert system terhadap sesuatu yang kelihatannya bakal merusak bagi vehicle yang kita kenakan saat ini (baca: tubuh). Well, kalian mesti baca dulu tulisan saya sebelumnya yang menjelaskan bahwa semua mahluk hidup itu adalah astronot yang sedang ditugaskan oleh higher being yang oleh setiap agama disebut Tuhan atau Dewa.

Kembali ke rasa sakit, semua sensor yang ada pada permukaan tubuh yang dinamakan sebagai indera perasa akan memberikan sinyal bahaya berupa rasa sakit ke pusat kontrol yang lalu memberikan perintah pada bagian terkait untuk segera menghindar. Apakah itu terkena benda panas, terkena benda tajam.

Pencipta kita tidak memberikan buku petunjuk karena sebetulnya buku petunjuk yang paling baik itu adalah pengalaman. Oleh karena itu menurut saya ketika pertama kali kita bertugas/dilahirkan (dengan mengenakan baju tubuh ini) kita hanya punya bekal naluri hidup. Survival kit lainnya akan kita dapatkan seiring dengan berjalannya waktu. Pola yang sama juga terjadi pada mahluk lain, tentunya dengan cara mereka masing-masing.

Seorang anak tidak akan tahu bahwa setrika yang menyala itu panas dan menyakitkan. Ia akan belajar bahwa setrika (yang sedang menyala) itu panas saat ia bersentuhan langsung dan secara refleks ia menghindar dan menangis atau, dengan kemampuan berkomunikasi yang manusia miliki, maka orang tua akan memberitahu dengan cara yang terbaik tentunya sehingga si anak tahu dan sadar tentang perasaan sakit yang akan ia alami berkenaan dengan resiko-resiko yang mungkin akan terjadi. That’s how we learn.

Perasaan yang tidak menyenangkan itu akan membangun trauma yang lalu secara naluri akan dihindari. Maka terbentuklah sistem pertahanan secara proaktif yang dibangun dari pengalaman reaktif di awal.

Kenapa kita harus risau jika ancaman-ancaman sakit tersebut hanya akan menyentuh vehicle yang kita gunakan, dalam hal ini tubuh kita? Ya sederhananya karena sejak kita ditugaskan, tubuh yang kita kenakan ini sudah menjadi satu kesatuan, dan semua sistem pertahanan tersebut memberikan peringatan dari perasaan yang tidak menyenangkan (rasa sakit). Jadi regardless kita berpikir bahwa itu “hanya” tubuh kita yang terdampak, namun kita menyebutnya ya kita (secara keseluruhan) yang terdampak.

Begitu kira-kira…:-)

Label:

Jumat, Maret 04, 2022

Astronot



Semua mahluk adalah astronot yang sedang menjalani tugas penempatan di dunia yang sedang ditempati. Kebetulan manusia penempatannya di Bumi bersama dengan mahluk-mahluk lainnya yang juga sebenarnya memiliki tujuannya sendiri-sendiri (purpose). Untuk hidup disebuah tempat kita semua diberikan perangkat khusus, wahana (vehicle) supaya bisa bertahan. Perangkat khusus ini membuat kita bisa bertahan hidup mulai dari dilahirkan sampai tugas kita berakhir. Perangkat khusus ini sangat canggih karena bisa tumbuh dan membesar seiring dengan lamanya kita hidup didaerah tempat kita ditugaskan. Mengapa harus bisa membesar? Ya karena pada setiap stage kehidupan masing-masing dari kita punya tugas khusus yang disesuaikan dengan umur. Kita mengenal perangkat khusus ini dengan “tubuh” (body). Jadi sejak dilahirkan kita memang dibuat untuk “menyatu” dengan perangkat ini agar bisa hidup di tempat kita bertugas yang namanya Bumi. Ya kita sedang ditugaskan di Bumi.

Tubuh adalah perangkat yang sangat canggih. Ia bisa tumbuh, dan dapat memberikan tanda pada kita si astronot seperti misalnya:

  • Mengisi bahan bakar/ mencharge jika sudah habis dengan rasa lapar dan haus sehingga si astronot bisa memerintahkan tubuh untuk makan dan minum
  • Menghindar dengan cepat dengan adanya rasa sakit sebagai alarm terhadap hal-hal yang bisa membuat rusak tubuh
  • Sistem alert berupa suhu badan tinggi jika ada serangan dari mahluk-mahluk lain yang berupa penyakit
  • Dan banyak lagi kehebatan tubuh yang akan panjang sekali jika dipaparkan di sini.

Dari mulai pertama kali para astronot mulai mengenakan perangkat tubuh ini dan meluncur keluar dari tubuh yang lebih besar yang ditugaskan untuk meluncurkannya (tubuh seorang ibu), tubuh akan tumbuh, seiring dengan bertambahnya waktu serta berbarengan dengan bertambahnya tugas dan tanggung jawab yang harus diemban oleh si astronot. Sampai akhirnya satu per satu bagian dari tubuh rusak dan tidak bisa berfungsi yang berarti inilah tanda-tanda bahwa si astronot sudah harus berangkat ke tempat lain untuk tugas yang lain pula diawali dengan meninggalkan tubuh.

Label:

Rabu, Maret 02, 2022

Makam & Aktivitas Tahunan Yang Mengikutinya



Sebentar lagi kita akan memasuki bulan puasa dan juga lebaran yang selalu diikuti oleh aktivitas-aktivitas khas yang jarang terjadi di bulan-bulan lain ataupun waktu-waktu lainnya, mulai dari sahur, buka puasa, begadang, lemes disiang hari bolong, ngeracunin temen supaya buka...uuppss...hehehe, itu sih bukan aktifitas ya, dasar jahil aja...hehehe. Yang paling ketara adalah kegiatan mengunjungi makam keluarga, yang oleh orang Jawa istilahnya Nyekar dan kalau orang Sunda istilahnya Nadran. Kegiatan ini dilakukan sebelum memasuki bulan puasa dan sewaktu lebaran, yang serentak bikin jalan-jalan besar disekitar pemakaman macet total..tal...tal...

Cuman kepikiran aja sih sebenarnya, kalau dilihat-lihat, sebuah makam itu minimal berukuran 1x3 meter kan, dan kalau sudah jadi pemakaman yang isinya beratus-ratus makam, kebayang dong berapa besar lahan yang dibutuhkan untuk makam-makam tersebut. Dulu sempat mikir, kalau mengambil logika tempat parkir mobil yang juga butuh tempat parkir selebar mobil itu sendiri, maka sejak sekarang sudah ada tempat parkir mobil bertingkat, bisa gak ya makam diperlukan seperti itu juga? Kalau bisa, wueleeeh....bakalan ngirit tempat buanyaaak banget. Bayangannya ada sebuah gedung yang fungsi ruangan2nya adalah makam....keren gak tuh....hehehe. Cuman kalau dipikirin lebih dalam lagi, artinya disetiap ruang makam tersebut mesti ada tanah yang dalemnya sekitar 1,5 meter atau lebih. Belum proses hancurnya jenazah oleh tanah, duuh....ternyata gak sesimpel itu ya, malah rasanya justru nambah keruwetan.

Ngomongin ngirit tempat, ada satu cara lagi, yaitu kremasi, atau dibakar sampai jadi abu. Cara ini dilakukan di India dan juga China. Di Bali juga dilakukan upacara pembakaran jenazah yang disebut Ngaben. Cara ini adalah cara favorit saya, walaupun di agama saya gak dikenal cara kremasi ini. Bayangin, kalau semua jenazah dikremasi, lalu abunya dimasukkan kedalam guci. Yang ada pengelola pemakaman akan banyak yang bangkrut dan memulai bisnis penyimpanan guci abu jenazah. Kalaupun mau, bisa saja disimpan sendiri guci nya dirumah, lalu setiap saat bisa dilakukan nyekar atau nandran tanpa mesti kenal waktu. Nah dijamin gak akan muncul kemacetan2 yang bikin kita semua susah...:-)

Foto: Media Indonesia

Label:

Dilema Adele



Anda pasti tahu ya dengan penyanyi Inggris bersuara dahsyat Adele, yang melahirkan hits-hits hebat seperti Easy On Me, Someone Like You, Rolling In The Deep, dan lain sebagainya. Saya gak terlalu tahu kebenarannya hanya saja banyak yang bilang bahwa lagu-lagu hits dari Adele ini tercipta ketika dirinya sedang patah hati.

Anggap saja hal tersebut benar, apa rasanya jika Anda jadi Adele jika orang-orang berharap akan ada lagu keren setiap kali Anda patah hati? Dengan kata lain apakah semua pendengar jadi mengharapkan agar kisah cinta Anda hancur supaya bisa tercipta lagu yang keren?

Saya tidak bisa membayangkan sih jadi Adele jika memang itu yang terjadi. Untungnya walaupun saya suka lagu-lagu Adele, tapi saya bukan termasuk yang ngefans berat, sehingga mungkin dilema itu tidak terjadi pada saya. Hanya saja saya sangat bisa berempati pada Adele dan juga pada para fansnya Adele yang terjebak dilema tersebut.

What do you think?

Photo by CHRISTOPHER MACSURAK – Flickr, CC BY 2.0, https://commons.wikimedia.org/w/index.php?curid=17867504

Label:

Selasa, Maret 01, 2022

Jebakan Algoritma


Pernah kah Anda terheran-heran karena tiba-tiba salah seorang anggota keluarga Anda sikapnya jadi seperti ekstrimis radikal yang terlihat dari opini-opini dalam percakapannya, serta juga kadang pada posting-posting di media sosialnya? Kok jadi begitu ya?

Saya menyebut orang-orang seperti itu dengan korban dari jebakan algoritma media sosial. Lho maksudnya gimana sih? Jadi begini, banyak orang menganggap semua konten yang ada di internet itu informasi yang valid, terutama jika penyajiannya begitu meyakinkan, sehingga membuat para pembaca merasa bahwa apa yang disampaikan itu benar. Dan jika konten-konten seperti ini ditemukan di media sosial, maka sesederhana kita membacanya sampai selesai, algoritma media sosial akan menangkap bahwa si pembaca menyukainya, dan sistem algoritma akan memilihkan konten-konten serupa untuk terus menerus disajikan.

Sistem algoritma tidak mengenal baik-buruk ataupun benar-salah, sehingga begitu kita mengonsumsi sampai selesai satu konten, maka dianggapnya kita menyukainya. Begitulah cara kerja algoritma pada media sosial.

Nah hal ini diperparah jika kita tidak paham cara kerja algoritma, maka kita akan merasa semua kontennya ya begitu adanya. Bahkan ia tidak perlu mencari, namun sistem menyajikannya. Begitu terus menerus sehingga si orang tersebut seperti terkena jebakan algoritma.

Bagaimana cara membantu mereka? Ya sepertinya mudah ya dengan memberitahu mereka untuk tidak mengonsumsi konten-konten radikal seperti itu, namun jika mereka tidak diajarkan untuk secara proaktif mulai mencari konten-konten lain, ya usaha Anda untuk menolongnya akan sia-sia jadinya. Karena secara pasif mereka akan berputar-putar mengonsumsi konten serupa saja.

Mintalah akses ke media sosial mereka, lalu mulailah bantu mencarikan konten-konten lain untuk dinikmati secara penuh sehingga lama kelamaan sistem algoritmanya bisa menyajikan konten-konten yang berbeda.

Ya memang mesti sedikit effort sih, tapi worth it kalau memang bisa membantu mereka terlepas dari jebakan algoritma tersebut. 


Label:

Sabtu, Februari 12, 2022

Hak Ekonomi Di Ranah Karya Musik



Ada yang menarik di industri musik. Ya, kita semua pasti suka mendengarkan musik kan ya? Well mungkin sebetulnya istilah yang tepat bukan industri musik kali ya tapi industri rekaman, karena apapun yang direkam dalam bentuk audio lalu diperjual belikan akan melibatkan banyak pihak yang terlibat. Ya segala yang berkaitan dengan uang tentu saja harus diatur yang berhak mendapatkannya tentunya.

Baru-baru ini terjadi kasus unik di industri musik yang kemungkinan besar banyak dari kita tidak memperhatikannya. Kejadian ini menurut saya unik karena menyangkut kesejahteraan musisi yang saat ini sedang diperjuangkan oleh beberapa pihak (salah satunya AMPLI – Aliansi Musisi Pencipta Lagu Indonesia), yaitu permohonan gugatan perusahaan rekaman Musica Studios ke Mahkamah Konstitusi yang  mencoba untuk membatalkan pasal 18, 30, dan 122 UU Hak Cipta. Ketiga pasal tersebut  adalah ketentuan-ketentuan mengenai kewajiban bagi produser rekaman untuk  mengembalikan hak ekonomi kepada pencipta lagu dan penyanyi setelah 25 tahun, jika  perjanjian dengan pencipta dahulu kala dilakukan dengan cara jual putus (flat play) sekali  bayar tanpa royalti.

Menurut mas Indra Lesmana dalam obrolan yang dilakukan via WA, praktek membuat perjanjian jual putus (flat pay) sekali bayar tanpa royalti itu adalah cara label di jaman dahulu agar bisa memproduksi karya musisi sampai pendistribusiannya. Musisi ataupun pencipta tidak banyak pilihan karena untuk memproduksi karya-karya mereka butuh dana yang cukup besar, belum lagi untuk promosi serta distribusi. Kebanyakan musisi ataupun pencipta tidak memiliki cukup dana, sehingga mau tidak mau mereka menanda tangani perjanjian jual putus (flat pay) sekali bayar, tanpa royalti tersebut. Oleh karena itu mas Indra Lesmana cukup terkejut dan keberatan atas gugatan Musica Studios tersebut. Menurutnya ini sama saja dengan mematikan lagi harapan musisi dan pencipta lagu untuk  mendapat kesejahteraan yang lebih baik.

Jika diperhatikan mengapa pihak Musica ingin terus memiliki hak ekonomi dari karya-karya yang sudah mereka beli lebih dari 25 tahun? Bukankah 25 tahun rasanya sudah cukup untuk mereka memanen keuntungan ekonomi dari karya-karya para musisi dan pencipta tersebut? Mungkin ada banyak penyebab, namun saya tidak mau berasumsi. Jika ada pembaca tulisan ini bisa bantu menjelaskan, silahkan ya, feel free di bagian komen.

Bagaimana menurut Anda?

Photo by RODNAE Productions on Pexels.com

Label:

Rabu, Januari 26, 2022

Memangkas Perantara


Baru saja selesai mengikuti sharing sessionnya Indra Aziz tentang NFT yang sengaja ia buat dengan mengundang teman-teman musisi yang ingin tahu lebih banyak tentang NFT.

Well, saya gak akan membahas NFT di tulisan saya ini (mungkin di tulisan lain kali ya), namun saya ingin membahas tentang betapa besarnya perubahan yang terjadi jika para musisi sudah mulai menggunakan NFT untuk dapat mendistribusikan karya mereka.

Poin-poin yang menurut saya cukup keren adalah, NFT membuat:

  • Musisi bisa menorehkan identitas kepemilikan bagi setiap karya mereka dengan menambahkan NFT, karena NFT itu sendiri seperti sertifikat kepemilikan yang tidak bisa diubah-ubah (terpatri dalam smartcontract)
  • Musisi (dan juga setiap pendukung karya) akan bisa mendapatkan royalti pada setiap karya yang terjual tanpa harus berhubungan dengan badan-badan kolektif yang tugasnya tadinya mengumpulkan hak-hak royalti tersebut. Dengan adanya smartcontract pada blockchain yang digunakan untuk NFT, maka pembagian Royalti tersebut sudah secara otomatis terbagi dan terdistribusi lewat wallet masing-masing penerima hak yang dicantumkan pada smartcontract.
  • Strategi pemasaran pun bisa diatur dalam smartcontract sehingga sistem langsung mengaturnya, misalnya, jika dalam smartcontract itu ingin diatur gimmick-gimmick marketing yang ingin dibagikan sebagai nilai tambah bagi para pembeli karya berNFT, seperti voucher, gratis nonton live concert, dan lain sebagainya.
  • Marketplace untuk berjualan musik berNFT semakin banyak bermunculan, membuat sebenarnya kreator jadi banyak pilihan.

Nah dengan demikian, kalau semua hak sudah bisa di set secara otomatis, saya pikir para badan pengumpul royalty yang ada sekarang harus segera memberikan nilai baru agar bisa tetap relevan. Atau ya banting setir ke pekerjaan lain, karena masalah royalty yang ngejelimet sudah secara otomatis terpecahkan dengan adanya platform blockchain yang ujung tombaknya NFT ini.

Bagaimana menurut kalian?

Photo by Soundtrap on Unsplash

Label:

Rabu, Januari 12, 2022

Semesta



Minggu lalu saya bertemu dengan teman-teman SMP. Ya seperti biasanya, jika bertemu dengan teman-teman masa kecil pastilah kita mengangkat kembali cerita-cerita masa lalu di saat kita semua bersama-sama ada di satu masa. Mulai dari kenakalan-kenakalan yang kita lakukan dahulu sampai cerita-cerita menyenangkan. Begitu beranjak ke cerita masa sekarang, maka update yang sebenarnya mulai terjadi. Kejadian-kejadian suka-duka menjalani kehidupan mulai saling dipertukarkan, tentunya dengan kedalaman yang disesuaikan dengan senyaman apa kita bercerita dengan teman-teman kita tersebut.

Kita mulai membicarakan bagaimana kita menjalankan hidup, pekerjaan kita, penyakit yang diderita, dan lain sebagainya seputar itu. Pada saat itulah saya yakin kebanyakan dari kita menyadari, secara luas kita ada dalam semesta yang berbeda dibandingkan saat kita bersama-sama sekolah dulu.

Mendengarkan kisah-kisah perjalanan hidup teman-teman membuat saya tidak merasa sendiri dalam semesta tersebut. Mereka juga mengalaminya dan kadang lebih sulit. Refleksi pengalaman yang didapat membuat kita sadar bahwa setiap orang memiliki semestanya sendiri-sendiri dimana mereka juga mungkin berusaha belajar dari semesta yang dapat mereka lihat dari sisi kita.

Kita boleh saja merasa hidup kita yang paling sulit, namun cobalah mendengarkan kisah hidup orang lain maka semua jadi terasa lebih berimbang. Karena kita hidup dalam semesta kita masing-masing yang memang diciptakan untuk kita secara adil dan berimbang.

Photo by Jaymantri on Pexels.com

Label:

Kamis, Desember 30, 2021

When I’m 64

Bila Anda penggemar The Beatles, kemungkinan besar pasti tahu lagu yang berjudul sama dengan judul tulisan ini. Kira-kira apa yang ada dalam bayangan Anda ketika mendengar potongan lirik lagu ini:

Will you still need me,
Will you still feed me
When I’m sixty-four

Paul McCartney masih teenager saat ia menciptakan lagu tersebut, dan pada tahun 1967 itu kemungkinan Paul dan teman-teman seusia mereka menganggap umur 64 tahun itu usia yang cukup lanjut. Walaupun lagu itu diciptakan dengan nada yang begitu ceria, saya pribadi menangkap rasa kekhawatiran pada Paul atau setidaknya usahanya untuk berempati bagi orang-orang yang sudah berusia lanjut.

Sering sekali saya menemukan orang-orang yang tidak merasa bahwa dirinya akan menua dan berhadapan dengan konsekuensi berusia lanjut. Konsekuensi-konsekuensi tersebut membuat diri mereka jadi tidak bisa tidak harus bergantung terhadap orang lain. Bisa bergantung pada anak mereka, bisa bergantung pasangan mereka, sanak saudara, bahkan di negara-negara yang lebih baik, bisa bergantung pada negara.

Apa yang harus disiapkan? Sederhana…..perasaan cinta, karena tanpa perasaan cinta dan sayang maka tidak ada yang mau digantungi oleh orang lain. Dan pasti Anda semua tahu bahwa sebuah perasaan itu (mau cinta ataupun benci) tidak akan muncul sendiri. Perasaan itu muncul karena disemai dan dipelihara. Oleh karena itu Tears For Fears, duo dari Inggris yang ngetop ditahun 80an meluncurkan lagu yang berjudul “Sowing The Seeds Of Love”. Coba dengarkan deh, dan mudah-mudahan Anda bisa menarik benang merahnya.

Beberapa minggu yang lalu papa saya harus masuk rumah sakit karena permasalahan jantung yang membuat paru-parunya terendam cairan dan bikin dia sesak. Dia masuk 3 hari di ruang ICCU dan hampir 2 minggu harus tinggal di rumah sakit. Karena usianya sudah 81 tahun, maka problem jadi bermunculan, termasuk dia tidak kuat berdiri. Oleh karena itu setelah pulang pun ia tetap belum bisa ditinggalkan, karena masih harus menggunakan kursi roda. Saya kembali teringat pada lagu “When I’m Sixty-Four”. Beliau adalah orang tua saya satu-satunya dan keluarga saya yang selalu mendukung saya di saat-saat saya ada dalam kondisi terendah. I love him so much, walaupun karena karakter yang berbeda membuat hubungan kita memang tidak bisa disamakan kedekatannya dengan almarhumah ibu saya. Karena sesederhana tanpa dia saya tidak akan pernah ada. Dan saya pun ingin mengajarkan pada anak saya bahwa “if we sow the seed of love, we will reap it when we need it.”

Bagi yang belum pernah mendengarkan lagu “When I’m Sixty-Four” nya The Beatles, silahkan simak di sini:

Photo by Marcus Aurelius on Pexels.com

Label:

Sabtu, November 04, 2006

Are You an Internet Addict?



Sambil menunggu tukang bubur ayam lewat, saya ngecheck email dan disalah satu email yang saya terima adalah sebuah potongan artikel yang dikirimkan oleh seorang teman (pak Patahan) yang tinggal di Haven Plaza, bilangan Alphabet City, Manhattan, New York City. Potongan artikel tersebut sangat menarik karena jadi membuat saya bertanya2 apakah saya seorang pecandu internet? Kalau ditanyakan secara pribadi sih saya akan mengakui bahwa saya seorang internet junkies....hehehe. Tapi karena penasaran juga apa yang dibahas dalam artikel tersebut, maka saya klik link yang diberikan dan muncullah artikel yang ditulis oleh seorang kolumnis bernama Gina Hughes (The Tech Diva) di Yahoo!Tech. Untuk selanjutnya saya copy-paste kan artikel tersebut dibawah ini dan silahkan tentukan sendiri apakah anda seorang internet junkies atau bukan...:-)

Are You an Internet Addict?

I was reading through an AFP report on Yahoo! News that says Serbia is now treating people with Internet addictions. This counseling center considers anyone who is not interested in daily activities with family and friends as a potential Internet addict and looks for other signs such as spending prolonged hours online, turning to virtual friends, and isolation. I'm not sure exactly how they treat Internet addiction, but they say treatment usually lasts one year.

After reading this, I headed over to Net Addiction and took an Internet Addiction Test (IAT) that told me my Internet usage is causing occasional problems in my life. I won't take that test too seriously because my occupation requires me to be online a lot of the time. However, I will keep that in mind next time I choose surfing the web over, er, household chores. Can you blame me?

Internet addiction can be harmful for those who delve into the darker side of the web, such as online gambling, cybersex, online affairs, and online gaming. But how do you know when you or someone you love is addicted to the Internet? When is it time to pull the plug and seek treatment?

Here's a list of common symptoms to watch out for:

  1. Lying about how much time is spent online.
  2. General decrease of physical activity and social life.
  3. Neglecting obligations at home, work, or school to spend time online.
  4. Spending too much money on computer equipment or Internet activities.
  5. Feeling a constant desire to be online when they're away from the computer.
  6. Going online to escape real world problems.
  7. Disregarding the emotional or physical consequences of being in front of a computer all day.
  8. Denial of the problem.
There is much debate about the reality of Internet addiction. The bottom line is that anything can be harmful when abused. If you find yourself spending more time online than with real people, then plan for some quality time with the family or friends every other day. Find anactivity the whole family enjoys and make a date with them.

I personally disconnect completely every weekend and get out of the house so I'm not tempted to check email. I also have movie nights and "Lost" nights during the week, which are a great excuse to turn off the computer. Different things work for different people, so just find something you enjoy and don't hesitate to shut the computer off.

What do you do to escape cyberspace?

Label: